img

ATAS NAMA CINTA : Refleksi Muslimah Bercadar Terhadap Pergumulan Kerjasama Antar Iman

“Atas Nama Cinta” sebuah judul yang terbersit, ketika Ibu Elga J. Sarapung selaku Direktur Institut DIAN/ Interfidei, Yogyakarta meminta saya untuk membuat seri tulisan tentang refleksi pribadi saya dalam pergumulan antar iman yang saya jalani. Kerjasama antar iman yang mulai saya tekuni sejak awal Ramadhan tahun lalu sampai hari inilah yang jika saya menapak tilas kembali, maka tema besar yang bisa saya petik untuk mewakili semua aktivitas-aktivitas itu, dapat diwakilkan dengan judul dari tulisan saya kali ini. Tulisan ini pun menjadi seri ketiga dari dua tulisan refleksi saya sebelumnya yaitu “Indonesia di Mata Muslimah Bercadar” yang diterbitkan oleh Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Yogyakarta dan “Harmoni Cadar di tengah Pergumulan Agama-Agama” yang diterbitkan oleh Institut DIAN/Interfidei, Yogyakarta.

            Judul ini terdengar sangat puitis. Namun, saya sama sekali tidak bermaksud untuk berpuisi. Hanya saja, saya selalu terngiang satu kalimat indah dari salah seorang ulama besar yang namanya pun sudah tidak saya ingat lagi tetapi kalimat nasihatnya begitu membekas di benak dan hati saya. “Agama itu, jikalau bukan cinta lantas apalagi?” kemudian saya merefleksi kalimat itu dan sedikit mengubah redaksi di awal kalimatnya dengan kata “manusia”. “Manusia itu, jikalau bukan cinta lantas apalagi?”. Kalimat inilah yang senantiasa saya ucapkan, dengan nada yang lembut, sedikit berbisik, sembari menanamkannya di dalam benak dan hati, bahwa peranan saya sebagai manusia yang beragama jikalau tidak mencerminkan cinta lantas apalagi.

            Cinta adalah bahasa universal yang tidak melihat pada warna bahkan ia sendiri tidak berwarna. Sebagaimana ucapan dari sang bijak Maulana Jalaluddin Rumi yang juga senantiasa saya kutip dalam beberapa cuitan di medsos untuk sekadar mengingatkan diri sendiri dan segelintir pengikut di medsos yang mau membacanya. Kalimat tersebut berbunyi “Cinta jika masih berwarna (beralasan) maka ia bukanlah cinta”. Saya sangat sependapat dengan definisi cinta yang disampaikan oleh Rumi. Bagi saya sendiri dalam upaya memahami kalimat ini, saya menganggap bahwa cinta adalah sebab sekaligus akibat. Ia hadir karena sebuah sebab juga dijalani sebagai sebuah akibat. Cinta sejatinya tidak memerlukan alasan untuk bisa hadir dan bertahan. Bagi hubungan antar sesama makhluk sendiri, cukuplah seorang manusia menyadari bahwa ia berasal dari cinta kasih Tuhan kemudian dilahirkan ke bumi berkat cinta kasih kedua orang tua, maka sudah sepantasnya ia bersikap penuh cinta kasih terhadap sesama makhluk Tuhan. Cinta kepada Muhammad itulah sebab Tuhan menciptakan alam semesta sebagaimana dalam hadis qudsy dikatakan bahwa jikalau bukan karena Muhammad maka Tuhan tidak akan menciptakan semesta. Maka Tuhan menciptakan semesta atas dasar cinta, semesta ini adalah ekspresi cinta Tuhan kepada Muhammad. Cinta Tuhan adalah sebab terciptanya semesta sekaligus akibat dari cinta tersebut maka dihadirkanlah isi-isi dari semesta ini untuk melengkapi penciptaan-Nya. Dalam hubungan kerjasama antar iman maka cinta menjadi titik awal sekaligus titik tuju dari apa yang dilakukan.

            Berangkat dari pandangan dan prinsip-prinsip semacam inilah, saya kemudian berkomitmen untuk selalu mengupayakan hubungan baik terhadap sesama makhluk-Nya. Dalam hal ini, kepada sesama manusia tanpa melihat lagi identitas-identitas yang melekat padanya. Dalam teologi pembebasan yang dirancang dan dijalankan oleh salah satu ulama dan pemikir muslim India yaitu, Asghar Ali Engineer merumuskan tujuan-tujuan utama dalam teologi pembebasan yang diusungnya, dimana tujuan pertamanya yaitu persaudaraan yang universal (universal brotherhood). Membangun dan menghayati hubungan persaudaraan sebab sesama manusia bukan lagi sebab sesama pemeluk agama, sesama asal daerah dan sejenisnya. Sebagaimana kata saudara itu yang dimaknai dengan kata se-udara. Kita semua bersaudara sebab menghirup udara yang sama sekalipun dari berbagai latar belakang identitas yang berbeda. Tetapi, kita berfokus pada satu kesamaan yaitu sesama manusia, sesama makhluk ciptaan Tuhan yang dihadirkan sebab cinta yang tentunya harus mengakibatkan cinta itu pula. Sebab saya dihadirkan berkat cinta maka akibat dari saya dihadirkan di muka bumi adalah untuk menebar cinta. Lagi-lagi diingatkan tentang tugas utama Muhammad diutus ke muka bumi yang bahkan sudah masyhur diulang-ulang yaitu sebagai rahmat (kasih sayang/cinta) untuk seluruh isi dari alam semesta. Akan tetapi, segelintir umatnya yang bahkan sudah menghapal kalimat ini di luar kepala, masih saja senang mengumbar benci terhadap sesama manusia, masih saja terus menerus mengeksploitasi manusia yang lemah darinya dan kepada makhluk lain semisal hewan dan tumbuhan, bahkan lahan/tanah yang sering kali disengketakan dan akhirnya menelan korban jiwa.

            Jika saja persaudaraan universal ini sudah tertanam, maka akan melahirkan kesetaraan (equality) yang menjadi tujuan kedua dari Asghar Ali dalam teologi pembebasan yang diusungnya. Melihat dan memperlakukan semua makhluk dengan setara, menghargai setiap jiwa yang telah Tuhan titipkan kepada manusia, pepohonan, dan hewan sehingga timbul perlakuan yang adil. Sebagaimana dalam rumusan tujuan yang ketiga yaitu keadilan sosial (social justice). Ketika dua tujuan tadi sudah tercapai maka aspek yang ketiga ini akan sangat udah untuk diwujudkan. Dimana, semua manusia terlepas dari identitas agama, suku, ras, dan budayanya, juga kepada  makhluk selainnya pasti mencita-citakan nilai-nilai keadilan ini bisa tumbuh subur di sekelilingnya. Dimana, tidak ada lagi tindak-tindak kezaliman, pengeksploitasian yang terjadi sebab semua makhluk dihargai dan dikasihi seperti saudara, seperti mencintai diri sendiri. Sebagaimana bunyi sabda Nabi Muhammad saw., bahwa tidak akan dianggap beriman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.

            Dalam menerapkan nilai-nilai di atas dengan aktivitas pergumulan lintas iman yang saya jalani, ketika membangun hubungan kerjasama dalam menyuarakan moderasi dan perdamaian. Nyatanya, saya banyak mengambil pembelajaran dari setiap orang yang saya temui dan melakukan kerjasama dengan mereka. Belajar tentang bagaimana mengesampingkan ego dari identitas-identitas yang terlanjur menempel pada diri saya, baik agama yang saya anut maupun identitas berpakaian yang saya pilih. Bagaimana berupaya untuk mengedepankan hak-hak orang banyak, ketika melihat ujaran-ujaran kebencian bahkan tindakan-tindakan persekusi yang dilakukan oleh oknum-oknum dengan mengatasnamakan agama membuat saya dan teman-teman lintas agama lainnya merasa sangat sedih, sebab kami sama-sama menyadari betul bahwa wajah sejati agama adalah cinta kasih kepada semua.

            Mengekspresikan ajaran-ajaran agama itu dengan lemah lembut, dengan ucapan dan tindakan yang mendamaikan, menentramkan, nir kebencian, dan sangat tidak mengizinkan tindakan-tindakan yang bahkan menghalalkan kekerasan demi upaya membela “agama” dengan emosi yang membabi buta. Agama yang berlandaskan akal dan hati yang sehat tentunya yang akan mampu mencapai tujuan-tujuan dari apa yang sudah dirumuskan oleh Asghar Ali dalam teologi pembebasannya.

            Pertanyaannya lalu, apa yang saya pelajari dari bentuk-bentuk kerjasama yang kami lakukan?

Landasan utama yang bisa saya pelajari dari sekelumit perjalanan dan pengalaman yang saya lalui dalam bekerjasama dengan teman-teman di luar agama saya adalah nilai-nilai kemanusiaan itu menjadi arus utama dalam membangun hubungan kerjasama antar iman yang kondusif dan kami berhasil mewujudkan hal tersebut dalam berbagai kegiatan yang sudah kami lakukan bersama-sama. Mulai dari program kunjungan ke rumah-rumah ibadah, membuat dialog kebangsaan yang mengusung moderasi beragama, mengusung perdamaian antar umat beragama dan berbagai kelompok minoritas dengan berbagai kampanye, dan tentunya berbagai aksi sosial lainnya semisal bersih-bersih rumah ibadah, kegiatan bersih-bersih anjungan pantai yang di gunakan untuk merayakan tahun baru masehi, dan baru-baru ini menyalurkan bantuan berupa pembagian masker di beberapa tempat umum seperti pasar-pasar tradisional, pembagian sembako kepada guru-guru mengaji, kepada warga etnis Tionghoa, dan beberapa pengasuh rumah-rumah ibadah lainnya, serta para warga dari berbagai latar belakang yang terdampak dari pandemik Corona dengan berkurangnya penghasilan bahkan kehilangan mata pencaharian akibat dari aktivitas jual beli (perekonomian) yang semakin melemah dikarenakan wabah tersebut.

            Semuanya merupakan perwujudan dari kontemplasi aktif sebagaimana yang dinasihatkan oleh Mother Theresa, seorang biarawati beragama Katolik dan berkebangsaan India yang mengabdikan dirinya selama lebih dari 45 tahun untuk membantu masyarakat yang tidak mampu sebagai salah satu misi utama gereja Katolik yang diembannya yaitu untuk “pelayan dengan sepenuh hati dan gratis untuk membantu yang miskin dari yang termiskin”. Di antara berbagai penghargaan yang diterima termasuk 1979 Nobel Perdamaian. Dimana ia menolak perjamuan seremonial yang diberikan kepada penerima Nobel dan malah meminta dana tersebut untuk diberikan kepada orang miskin di India. Mother Theresa mengatakan bahwa penghargaan duniawi itu akan menjadi penting hanya jika hal tersebut dapat membantu orang yang membutuhkan di dunia.

            Tentunya berbagai pengajaran hidup sudah ditorehkan dan diberikan oleh para leluhur dan orang-orang hebat sebelumnya. Dengan satu misi utama yaitu membantu sesama manusia tanpa melihat identitas dan latar belakang apapun. Akhirnya saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip salah satu firman Allah swt., dalam hadis qudsy ketika berbicara kepada Nabi Musa a.s., yang berbunyi “Wahai hamba-Ku Aku lapar, tapi kenapa kalian tak memberi Aku makan; Aku haus, tapi kenapa kalian tak beri Aku minum; Aku susah, tapi kenapa kalian tak mengunjungi-Ku; Lantas Nabi Musa pun bertanya “Ya Rabb dimana aku bisa menemui-Mu?” Allah swt., berfirman: “Barang siapa yang ingin menemui-Ku, maka temuilah mereka yang kehausan, mereka yang kelaparan, dan mereka yang kesusahan. Karena sesungguhnya Aku bersamanya.” Allah swt menambahkan firman-Nya “ketahuilah, tidaklah sampai cinta-Ku kecuali kalian mencintai sesama. Tidaklah sampai pelayanan-Ku, kecuali kalian sudah melayani sesama.”

 

Syarifah Ainun Jamilah

(Alumni Pelatihan Penguatan Kapasitas Pemuda Lintas Iman Makassar, Aktivis JALIN Harmoni Sulawesi Selatan).

.

.

(Tulisan dalam versi pdf bisa diakses melalui tautan berikut: s.id/atasnamacinta)