img

Alfian H. Haden: Belajar Lewat Pengalaman Berjumpa dengan yang Berbeda


Saya, Alfian Haritama Haden, Guru Mata Pelajaran Sosiologi di Sekolah Menengah Atas (SMA) Katolik Santo Andreas di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Saya juga alumnus pelatihan dan lokakarya tentang “Mengelola dan Memaknai Perbedaan di Lingkungan Sekolah Menengah Atas di Sulawesi Tengah” yang diselenggarakan Institut DIAN/Interfidei. Sejak mengikuti pelatihan tersebut pada 2014 (tingkat dasar) hingga tahun 2019 (Training of Trainers/ToT), saya telah terlibat aktif dalam pelbagai kegiatan yang diselenggarakan Institut DIAN/Interfidei, terutama kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas Guru dalam mempromosikan toleransi yang positif, aktif, dan kritis. Selain itu, saya juga berpartisipasi dalam Konferensi Jaringan Antar Iman Indonesia di Makassar tahun 2016, Konferensi Jaringan Antar Iman Indonesia di Bandung tahun 2017, dan pelbagai kegiatan lainnya yang diselenggarakan Institut DIAN/Interfidei, di antaranya webinar (tahun 2020). Saya berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan tersebut sebagai peserta atau narasumber yang berbagi pengalaman dan pembelajaran tentang bagaimana mengelola dan memaknai perbedaan di lingkungan sekolah.


Bagi saya, mengikuti pelatihan mengelola dan memaknai perbedaan yang diselenggarakan Institut DIAN/Interfidei merupakan pengalaman baru dan unik. Ini pertama kalinya saya hadir dalam forum resmi di mana kami, para guru yang berbeda latar belakang agama dan pengalaman, bisa berjumpa, berinteraksi, saling mengenal dan berdialog. Kegiatan tersebut membantu saya untuk mengetahui bahwa apa yang saya pikir selama ini tentang agama Islam, keliru. Saya mendapat kesempatan untuk mengudar/membongkar prasangka. Saya juga mendapat kesempatan untuk berbagi pengetahuan dan menyampaikan penjelasan atas prasangka dari teman lain terhadap agama yang saya anut (Katolik). Ini kesempatan bagi kami untuk saling mengklarifikasi sehingga kami bisa memperbaiki pikiran dan pengetahuan kami selama ini tentang agama lain yang ternyata keliru. Menarik, karena tidak untuk menilai atau merpersalah-benarkan tetapi untuk menciptakan suasana saling menghargai.


Lewat kegiatan tersebut pula, saya mengenal dan kemudian berteman dengan seorang Guru Pendidikan Agama Islam dari sekolah Al-Khairat. Hal lain yang juga berkesan bagi saya, yakni saat kami berkunjung ke komunitas dan rumah ibadah dari agama lain untuk belajar dan mengkonfirmasi pemahaman maupun keingintahuan kami terhadap mereka. Kami juga berkunjung ke beberapa sekolah lain untuk belajar dari mereka tentang pengalaman mereka dalam mengelola dan memaknai perbedaan di lingkungan sekolah. Semua itu adalah hal baru atau pengalaman pertama bagi saya.


Saat mengikuti Konferensi Jaringan Antar Iman Indonesia, saya mendapat kesempatan untuk belajar, berjumpa, dan berdialog dengan komunitas Ahmadiyyah, komunitas Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, dan komunitas Lesbian, Biseksual, Gay, Transgender, dan Querr (LBGTQ). Berjumpa dengan mereka merupakan pengalaman baru bagi saya. Sebelumnya, saya pernah berpikir bahwa mengapa komunitas Ahmadiyyah itu harus ada? Mengapa mereka tidak bergabung saja dalam organisasi Islam yang sudah ada? Terhadap komunitas Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, sebelumnya, posisi pandangan saya yakni mereka seharusnya bergabung dalam agama lain yang diakui oleh negara. Namun melalui proses bersama Institut DIAN/Interfidei, saya kemudian sadar bahwa ternyata itulah nilai atau keyakinan yang mereka yakini sekaligus menjadi bagian dari identitas mereka. Itulah yang telah membuat Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Mereka punya hak untuk memilih. Negara harus menjamin keamanan semua kelompok keyakinan, termasuk Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Tugas kita adalah mengelola dan memaknai perbedaan agar perbedaan tersebut dapat menjadi berkat bagi bangsa ini.


Semua pengalaman tersebut mengajarkan kepada saya bahwa toleransi merupakan suatu kesadaran terhadap realitas yang beragam (berbeda suku, ras, agama, dan sebagainya), dan kesiapsediaan untuk menerima, saling belajar atau memahami, mengelola, dan bekerja sama dengan mereka yang berbeda agar perbedaan tersebut menjadi rahmat. Sebagai bagian dari Bangsa Indonesia, sudah seharusnya kita menyadari bahwa bangsa kita adalah bangsa yang majemuk. Nilai yang menurut saya penting untuk membangun semangat keindonesiaan kita adalah nilai kebhinekaan (Bhinneka Tunggal Ika) dan kemanusiaan. Kita wajib menghargai dan menghormati hak setiap orang untuk memilih keyakinan, hidup bersama kita, meminimalisir terjadinya konflik, dan menolak segala bentuk pemaksaan/kekerasan terhadap yang berbeda. Pokok penting tersebut yang selalu saya tekankan kepada para siswa dalam proses belajar di ruang kelas Sosiologi yang saya ampu.
Berbagai pengalaman berharga bersama Institut DIAN/Interfidei tersebut sangat membantu saya saat menyusun skema atau rancangan pembelajaran. Saya kemudian menjadi tahu bahwa ternyata ada banyak peluang yang bisa saya pergunakan sebagai media untuk menyebarkan pesan-pesan perdamaian. Sebelumnya saya sering mengalami kesulitan saat hendak memasukkan pesan perdamaian dalam proses belajar di ruang kelas Sosiologi. Dalam pelatihan yang diselenggarakan Institut DIAN/Interfidei, saya telah dilatih dan dibimbing untuk mengintegrasikan nilai-nilai perdamaian dalam Rencana Pokok Pembelajaran (RPP) mata pelajaran yang saya ampu tanpa mengubah kurikulum nasional. Karena itu, di kelas, saya kemudian memperbanyak kegiatan diskusi dan membangun kesadaran siswa tentang realitas yang beragam dan bagaimana sebaiknya kita bersikap terhadap perbedaan. Saat pelajaran berlangsung, banyak siswa bercerita tentang pengalaman pahit mereka akibat terjadinya konflik di daerah mereka (Sulawesi Tengah) di masa lalu dan soal aktivitas terorisme yang sering terjadi. Di kelas, saya berusaha menjelaskan kepada mereka secara hati-hati tentang pentingnya kepercayaan, saling menghargai, menghormati, dan mengkonfirmasi prasangka kita terhadap mereka yang berbeda (terutama dalam hal agama). Saya menggunakan film sebagai media pembelajaran.


Lewat pengalaman-pengalaman tersebut pula, saya juga belajar bahwa ternyata tidak hanya Guru Pendidikan Kewarganegaraan ataupun Guru Pendidikan Agama saja yang seharusnya bertugas menumbuhkan nilai pluralism dan multikulturalisme di kalangan siswa. Namun semua Guru, termasuk Guru Sosiologi, yang sudah semestinya punya peran besar dalam upaya menumbuhkembangkan nilai perdamaian di lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah harus menjadi tempat yang nyaman dan menjamin agar para siswa mendapat pembelajaran yang baik. Pembelajaran di sekolah sebaiknya tidak memaksa siswa untuk sekadar mengembangkan kemampuan kognitifnya saja. Yang juga penting, sekolah perlu menumbuhkan nilai kemanusiaan para siswa agar mampu bersikap kritis, positif, dan konstruktif terhadap keberagaman. Jika kita tidak berusaha menumbuhkembangkan kesadaran para siswa tentang keberagaman, dan bagaimana mereka sebaiknya bersikap terhadap perbedaan, maka tindakan intoleransi dapat berpotensi tumbuh di sekolah. Guru wajib memberi contoh dan teladan kepada para siswa dalam menyikapi keberagaman.


Selain di ruang kelas, saya juga memanfaatkan media sosial dalam mempromosikan nilai-nilai promosi perdamaian, pluralisme dan multikulturalisme. Setiap ada kegiatan yang berkaitan itu, saya selalu menyebarkan informasi tentang kegiatan tersebut lewat media sosial. Banyak siswa saya yang menjadi teman saya di Facebook maupun follower saya di Instagram.
Berkat pengalaman saya bersama Institut DIAN/Interfidei pula, saya mendapat rekomendasi dari komunitas agama saya dan diutus menjadi salah satu pengurus Forum Komunikasi antar Umat Beragama (FKUB) Kota Palu, Sulawesi Tengah. Semua pengalaman, pengetahuan, dan pembelajaran yang saya peroleh dari mengikuti pelbagai kegiatan yang diselenggarakan Institut DIAN/Interfidei telah saya manfaatkan dan sangat berguna bagi saya sebagai anggota FKUB Kota Palu.


Ditulis oleh: Cornelius Selan
Editor: Otto Adi Yulianto