img

Respon Agama-agama Terhadap Persoalan Perdagangan Orang di Indonesia

A. Pendahuluan

Tulisan ini adalah rangkuman bahan presentasi dan diskusi seminar dan lokakarya virtual bagi para pemuka agama-agama tingkat nasional dan khusus pada tingkat lokal di Nusa Tenggara Timur yang dilaksanakan oleh Institut DIAN/Interfidei bekerja sama dengan Zero Human Trafficking Network pada 24-25 dan 28-29 Juni 2021. Narasumber NTT: Ketua MUI Provinsi NTT, Pdt. Mery Kolimon - Ketua Majelis Sinode GMIT dan Rm. Regilnadus Piperno Pr. - Badan Pengurus Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migrant Perantau, KWI. (dapat diikuti melalui rekaman diskusi melalui tautan berikut: https://youtu.be/4le7O2CVU3A). Sedangkan narasumber nasional: Daden Sukendar - Ketua FKUB Kabupaten Sukabumi, Pdt. Jacky Manuputti - Sekretaris Umum PGI dan Sr. Laurentina PI - Badan Pengurus Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migrant Perantau, KWI (silahkan akses rekaman diskusi melalui melalui tautan berikut: https://youtu.be/Dif8Kxv-Qwo). Bahan presentasi narasumber dapat diakses melalui tautan berikut ini: https://bit.ly/3E2Ua8m)

 

Sebagai bentuk komitmen untuk terlibat dalam usaha mengatasi persoalan perdagangan orang di Indonesia, Institut DIAN/Interfidei mengambil peran sebagai salah satu lembaga dalam Zero Human Trafficking Network untuk mendorong lembaga-lembaga keagamaan (para pemimpin agama-agama, tokoh agama serta umat beragama seluruhnya, dimana terdapat juga pimpinan dan tokoh publik, pejabat yang menangani urusan yang terkait dengan lingkaran persoalan human trafficking, misalnya : keimigrasian, kartu tanda penduduk, pengusaha/mafia perdagangan orang, dan lain-lain) secara bersama-sama melakukan kegiatan-kegiatan konkrit di masing-masing daerah dan secara nasional dalam rangka mulai dari mencegah, menangani, sampai kepada mencari solusi dan merehabilitasi kehidupan social, ekonomi dan psikologis para korban.

 

Lembaga-lembaga keagamaan mesti menjadi “rumah yang aman” bagi para korban perdagangan orang dan berperan aktif, dalam mencegah, menghadapi dan mengatasi, memberi jalan keluar sampai kepada proses pemulihan yang menyeluruh: psikologis, ekonomi, dan lainnya. Persoalan kemanusiaan ini perlu disikapi secara bersama-sama. Agama-agama mesti berpihak kepada yang lemah, mereka yang diperbudak sambil memperlihatkan akar dan penyebab ketidakadilan serta terlibat bersama mengupayakan perubahan. Kehadiran agama-agama diharapkan membawa berita baik melalui “suara kenabian” dan “aksi kenabian” agar para pekerja mingran Indonesia dan seluruh masyarakat hidup dengan damai dan bisa menjalani kehidupan nyata yang beradab dan manusiawi.

 

Dalam kegiatan ini, jangkauan keterlibatan agama-agama masih terbatas kepada tiga agama, yaitu agama Kristen Protestan, agama Kristen Katolik dan Agama Islam. Walaupun, diharapkan dalam perjalanan selanjutnya, diharapkan dapat mengajak dan melibatkan semua agama-agama yang ada di Indonesia. Mengapa? Karena persoalan perdagangan orang adalah persoalan kejahatan kemanusiaan yang patut menjadi keprihatnan dan tanggungjawab semua agama bahkan kepercayaan yang ada, hidup dan berkembang di Indonesia. Bagaimana pun persoalan perdagangan orang, adalah persoalan bersama masyarakat dan bangsa Indonesia.

 

B. Mengapa komunitas Agama Kristen, melalui gereja-gereja sangat perlu dan penting sekali untuk merespon persoalan perdagangan orang?

Dalam seluruh bagian Alkitab kita membaca bahwa Allah mendengar tangisan orang-orang yang tertindas, Dia mengingat perjanjian dengan umat-Nya, dan Dia bertindak untuk menyelamatkan dan membebaskan. Dia tidak mengabaikan atau menutup mata terhadap yang tertindas; sebaliknya, Dia menjadikan mereka fokus utama kasih-Nya dan memberikan keadilan dan penyelamatan bagi mereka yang putus asa. Komitmen-Nya untuk penebusan begitu penting sehingga Dia mengutus Anak-Nya sendiri, Yesus, yang namanya berarti “Tuhan Menyelamatkan/Menyelamatkan.” Yesus, Tuhan yang berinkarnasi, berulang kali tergerak oleh belas kasihan saat melihat dan mendengar tangisan mereka yang tertindas dan diperbudak melalui kutukan dan tindakan untuk menebus umat-Nya dan memberikan keadilan abadi.

 

Panggilan kristiani dan kemuridan setiap pengikut Kristus, merupakan teladan yang mempunyai nilai-nilai yang diperjuangkan yaitu berpihak pada yang lemah dan tertindas. Keberpihakan kepada yang miskin dan tertindas itu merupakan spiritualitas gereja yang diwujudkan dalam aksi sebagai upaya konkrit untuk pemberdayaan dan kesadaran akan kerja berjejaring dengan semua pihak. Seperti Abraham yang mengundang tiga orang asing masuk ke kemahnya di Mamre untuk beristirahat dan makan (Kejadian 18: 1-15). Kita semua dipanggil untuk menjadi sahabat bagi orang-orang yang sedang melakukan perjalanan.Menjadi sahabat berarti pertama-tama kita menjunjung tinggi hak setiap orang untuk melakukan migrasi secara bermartabat. Kendati ada banyak bahaya, bagaimanapun setiap orang berhak untuk bepergian dan kita tidak bisa melarang mereka.

 

Umat Allah diminta untuk membuka telinga terhadap jeritan orang-orang yang tertindas dan menyelamatkan mereka yang diperbudak adalah tema sentral sepanjang sejarah Alkitab. Ketika Yesaya mengucapkan kata-kata dalam Yesaya 61:1-2, sesungguhnya ia sedang mengungkapkan isi hati Tuhan, “Roh  Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi  aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik  kepada orang-orang sengsara, dan merawat  orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan  kepada orang-orang tawanan,  dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara (Yesaya 61:1).

 

Misi Gereja bersumber dari Misi Allah Tritunggal; misi Allah (missio Dei) menciptakan dan memelihara dunia, misi Kristus (missio Christie) diutus Bapa-Nya untuk keselamatan dunia dan misi Roh Kudus (missio Spiritus) menghibur dan memperbaharui dan para murid diutus (Mat. 28:19-20) untuk melanjutkan kabar baik Allah Tritunggal itu dan menjadi saksi-Nya. Gereja (missio ecclesiae) dipanggil dan diutus untuk turut terlibat dalam karya keselamatan Allah di tengah-tengah dunia. Terlibat bersama Allah yang sedang bekerja di tengah-tengah dunia untuk mendatangkan kebaikan bagi segenap ciptaan-Nya.

 

Misi tidak terbatas pada pemberitaan verbal dan pembangunan gedung gereja melainkan partisipasi aktif gereja dalam dunia yang menjadi sasaran belas kasih Allah. Melayani dunia dan manusia secara holistic (mencakup segenap bidang kehidupan: sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum, lingkungan hidup) dan kosmik (misi gereja tidak hanya untuk manusia tetapi untuk segenap ciptaan). Sekaligus bersifat lokal dan global. Itu berarti misi gereja harus kontekstual (memberi perhatian secara sungguh-sungguh pada tempat di mana dia berada, sekaligus peka dan bercakap/berdialog dengan konteks di luarnya).

 

Kristus adalah Allah yang mengosongkan diri (Filipi 2:7) agar masuk dalam luka dan realitas perbudakan manusia. Percaya pada Allah yang rapuh dan terluka berarti bersedia masuk ke dalam kenyataan kerapuhan umat untuk belajar tentang kerentanan umat dan masyarakat, memahami penyebabnya, mencari kehendak Allah mengenai kerapuhan itu dan berjuang bersama para korban untuk misi Allah bagi keselamatan. Gereja mesti hati-hati dalam memperlakukan korban. Korban tidak boleh menjadi objek proyek gereja. Tugas gereja adalah menjadi pandamping korban sekaligus bertransformasi bersama pada korban agar para korban merekonstruksi identitas para korban menjadi penyintas, dan dari penyintas menjadi agen misi.

 

B.1. Sikap Gereja Terhadap Persoalan Perdagangan Orang

B.1.a. Deklarasi WCC, Trondheim, Norwegia, 2016

Menegaskan Kembali komitmen untuk berdiri dalam solidaritas dengan orang-orang yang diperdagangkan dan diseludupkan, serta keluarga mereka. Meminta gereja-gereja anggota untuk bermitra dengan organisasi masyarakat sipil lainnya, lembaga-lembaga pemerintah dan antar-pemerintah untuk bekerja memerangi perdagangan manusia dan penyeludupan migran. Mendesak gereja-gereja anggota untuk bergabung dalam gerakan advokasi ini dengan diilhami oleh Injil, untuk berkontribusi pada kesadaran dan pencegahan perdagangan manusia dan penyeludupan migran di setiap wilayah misi, serta mengembangkan advokasi melalui lembaga dan organisasi masing-masing. Mendorong Gereja-Gereja anggota untuk membantu orang-orang dan organisasi yang bekerja untuk memerangi perdagangan manusia dan penyeludupan migran, serta kejahatan terorganisir di baliknya.

 

B.1.b. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI)

PGI secara konsisten menggumuli isu ini dalam gerak bersama gerakan oikoumene global. Sejak 2011 PGI telah menerbitkan modul pencegahan dan penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Isu perdagangan orang kembali menjadi bagian dari salah satu  tujuan strategis program kerja lima tahun (2019-2024) PGI, “Tertatalayaninya Perlindungan Hukum dan HAM bagi gereja dan warga gereja”. Hal ini diputuskan Bersama Gereja-gereja Anggota PGI dalam Sidang Raya PGI ke-17 di Waingapu-Sumba Timur, November 2019. Pada 2017-2019 digelar Program Advokasi Holistik Pekerja Migran di NTT dalam Kerjasama dengan GMIT sebagai gereja anggota PGI dan dilakukannya berbagai kegiatan lain dalam kerangka advokasi isu perdagangan manusia tetap digawangi oleh PGI dalam Kerjasama dengan berbagai Lembaga social, pemerintah, serta gereja-gereja anggota.

 

B.1.c. Pesan-pesan Paus Fransiskus Hari Pekerja Migran

  • Pesan Paus Hari Migran sedunia 2019

Bukan hanya tentang mereka, tapi tentang kita semua dan tentang masa kini dan masa depan keluarga umat manusia. Migran, terutama mereka yang paling rentan, membantu kita membaca tanda-tanda Zaman. Melalui mereka Tuhan mengundang kita untuk memeluk sepenuhnya hidup kristiani dan ikut ambil peran sesuai panggilan masing-masing untuk membangun dunia sesuai rencana Tuhan.

  • Pesan Paus Hari Migran sedunia 2020

Menyambut, melindungi, mempromosikan (mewartakan) dan mengintegrasikan. Untuk memahami pesan tersebut kita perlu menjadi dekat agar bisa melayani, perlu mendengarkan agar bisa berdamai, perlu berbagi agar bisa bertumbuh dan perlu terlibat agar bisa mempromosikan, perlu kerjasama agar dapat membangun.

 

B.1.d. Erga migrantes Caritas Christi, No. 5, menegaskan bahwa trafficking merupakan babak baru dari perbudakan. Dalam konteks migrasi, dokumen menegaskan bahwa, trafficking mempunyai kaitan erat dengan mobilitas migrasi. Gereja harus memberikan pendapingan dan upaya-upaya real untuk garansi HAM dan martabat manusia. Bentuknya dapat berupa rumah singgah, agent pelayanan kemanusiaan, perhatian kepada legalitas (proses, dokumen, dsb.) Namun, tetap harus diperhatikan juga, bahwa korban paling besar justru dari mereka yang ilegal, tidak memiliki dokumen keimigrasian. Kelompok ini sangat rawan eksploitasi.

 

B.1.e. Surat JP II kepada Konferensi internasional tentang perdagangan manusia, 15 Mei 2002.

Perdagangan manusia merupakan tindakan yang menyakitkan terhadap martabat manusia dan penghancuran terhadap hak asasi manusia. Para pelaku merupakan perampok kebebasan manusia. Perbuatan mereka adalah racun bagi kemanusiaan, tidak hanya untuk korban, tetapi juga untuk diri mereka sendiri. Dan akhirnya perbuatan mereka merupakan bentuk penolakan kepada Sang Pencipta (bdk. GS, 27). Trafficking merupakan tindakan yang melanggar nilai yang dianut oleh semua budaya manusia. Pemeliharaan praktik pelacuran, dianggap Paus sebagai akar masalah yang meningkatkan praktik trafficking. Keadaan itu diperparah dengan upaya serius pelaku untuk menghapuskan kemerdekaan, hukum & moral, untuk memuluskan eksploitasi sexual manusia dalam rana ekonomi konsumtif. 

 

C. Sikap Islam Terhadap Persoalan Perdagangan Orang

Ajaran Islam secara umum melarang umatnya merendahkan manusia. Misi dakwah Nabi Muhammad SAW di awal-awal antara lain adalah memerdekakan para budak. Praktik perdagangan manusia atau Human trafficking sudah menjadi tradisi di jaman jahiliyyah (zaman sebelum kenabian Nabi Muhammad saw). Untuk itulah, Nabi Muhammad saw datang untuk mengajarkan masyarakat saat itu tentang pentingnya kemanusiaan. Manusia yang merdeka perlu untuk membantu mereka yang rentan. Selamatkan martabat kemanusiaan manusia sebagai ciptaan Allah Kita dalam kemanusiaan, harus menghindari human trafficking.

 

Firman-firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an yang menerangkan tentang martabat kemanusiaan dan tidak baiknya menjual sesama manusia:

Al-Qur’an Surah Al-Isra Ayat 70

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas banyak makhluk yang telah Kami ciptakan.”

 

Q.S. Yusuf:20

“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.”

 

Q.S. Al-Baqarah:17

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir ( yang memerluka pertolongan) dan orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

 

C.1.Hukum Islam Merespon Persoalan Perdagangan Orang

Hukum dasar muamalah perdagangan adalah mubah kecuali yang diharamkan dengan nash atau disebabkan gharar (penipuan). Mazhab Maliki Syafi’l, Hambali, Hanafi maupun Zahiriyah Mengharamkan perdagangan manusia dan turunannya. Juga ulama bersepakat atas haramnya penjualan manusia merdeka. Bahkan mempekerjakan orang merdeka kemudian tidak menepati upah yang telah disepakati, maka perbuatan semacam ini disamakan dengan memakan hasil penjualan manusia merdeka

 

C.2.Respon MUI dalam Kasus Human Trafficking di NTT

Merespon kasus perdagangan orang di NTT yang telah mencapai angka yang sangat mengkhawatirkan, beberapa kebijakan yang telah dilakukan oleh MUI sejauh ini adalah sebagai berikut:

  1. Komisi Fatwa: fatwa tentang human trafficking
  2. Komisi Informasi: penyebaran informasi
  3. Komisi PRK: memperkuat perempuan, remaja, dan keluarga
  4. Komisi Da’wah: penguatan da’I
  5. Komisi lainnya: menguatkan gerakan anti human trafficking
  6. Merangkul ormas islam lain dalam gerakan anti human trafficking.

 

C.3.Langkah Konrit agama-agama di NTT dalam Merespon Perdagangan Orang

1. Rumah Harapan Gereja Masehi Injinli di Timor

Rumah Harapan GMIT merupakan Satuan Tugas dari Unit Pembantu Pelayanan (UPP) Tanggap Bencana Alam dan Kemanuasiaan Sinode GMIT. Tugas utama dari Rumah Harapan GMIT adalah bekerja secara khusus untuk mencegah, melindung dan mendampingi Korban Perdagangan orang dan Korban Kekerasan berbasis Gender (perempuan dan anak). Rumah Harapan GMIT beroperasi sejak Februari 2018. Dua focus kerja Rumah Harapan GMIT yaitu: layanan pendampingan dan layanan pencegahan.

 

2. Langkah pencegahan dengan cara; mensosialisasikan masalah ini untuk umat di pedesaan dan sekolah sekolah tentang “bermigrasi secara aman dan benar“, melakukan peningkatan kapasitas pemuka agama dan aktivis gereja dengan berbagai bentuk kegiatan untuk paham persoalan perdagangan orang, pendampingan-rehabilitasi dan penyemalatan korban perdagangan orang.

 

3. Langkah Konkrit MUI ke Depan

Pencegahan

Pendampingan

  • Memperkuat ketahanan keluarga
  • Melakukan diseminasi anti human trafficking
  • Kerjasama dengan stakeholder untuk fokus pada hasil pemetaan dan aplikasikan segera metadata SWOT yang ada
  • Melakukan pendampingan pada korban
  • Menguatkan spirit petugas
  • Menguatkan jejaring antar lembaga keagamaan
  • Memfasilitasi shelter

 

D. Penutup

 

Tidak semua pemimpin atau tokoh agama tergerak untuk menjadikan persoalah kejahatan kemanusiaan perdagangan orang sebagai persoalan yang patut menjadi bagian dari kerja dan pelayanan mereka sebagai bagian dari keterpanggilan keimanan mereka. Ada beberapa alasan, di antaranya : karena gerakan hati nurani itu sendiri tidak erat terhubung dengan “jabatan” sebagai pemimpin atau tokoh agama, atau sama sekali tidak familiar dengan isu dan persoalan perdagangan orang, atau semangat aktivis sang pemimpin atau tokoh sama sekali tidak dimiliki, cukup hanya berkorbah, memimpin kegiatan rutin keagamaan. Sementara, dalam berurusan dengan persoalan kejahatan kemanusiaan perdagangan orang, selain memerlukan gerakan dan sensitivitas hati nurani, juga berbagai ketrampilan, keberanian dan bersedia untuk berpihak kepada korban sekaligus bersedia menanggung risiko. Oleh karena itu, kegiatan yang sudah dimulai ini, tidak banyak melibatkan para pemimpin agama yang berada di “wilayah” tersebut, tetapi langsung mereka yang cukup memenuhi pra-syarat yang disampaikan di atas.

 

Harapan kami, para pemuka agama mestinya menjadi harapan agar semakin banyak orang yang menjadi korban dan masa depan kehidupan warga masyarakat, saudara-saudara sesama manusia bisa tertolong. Pemuka agama mesti berpihak kepada yang lemah, mereka yang diperbudak, sambil memperlihatkan akar dan penyebab ketidakadilan serta terlibat bersama mengupayakan perubahan. Kehadiran agama-agama diharapkan membawa berita baik melalui suara kenabian dan aksi kenabian agar para calon PMI, korban dan seluruh masyarakat hidup dengan damai. Pemberdayaan ekonomi calon PMI dan korban mesti menjadi perhatian bersama. Jejaring intra dan antar agama perlu secara serius diperkuat dalam rangka mengatasi persoalan kemanusiaan ini. Pokok penting lainnya adalah perlunya program peningkatan kapasitas pengetahuan dan keterampilan pemuka agama tentang pendampingan korban dan strategi pencegahan. ***

 

Ditulis ulang oleh: Cornelius Selan – Institut DIAN/Interfidei