img

Bagaimana Salamrejo Menjadi Desa Inklusi

Jauh sebelum Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia lahir, warga desa Salamrejo sudah menerapkan nilai-nilai yang dikandung dalam Pancasila. Mereka sudah menghidupi rasa ketuhanan, rasa kemanusiaan, dan semangat gotong royong sejak turun-temurun dari nenek moyang mereka.

 

Mangunwijaya adalah sosok yang mengenalkan nilai itu pada masyarakat. Lalu diturunkan pada generasi selanjutnya, sampai kini dipraktikkan oleh Mangunwiharja dan Sasmito Gati, sesepuh desa dan Paguyuban Eklasing Budi Murko (PEBM) di Kulonprogo.

 

Paguyuban Eklasing Budi Murko (PEBM) merupakan salah satu paguyuban warga penghayat Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa di Kulonprogo sejak 1926. PEBM berawal dari Kaki Mangunwijaya, berdomisili di Krapyak, yang mengajarkan pemahaman tentang cara hidup bermasyarakat, berbangsa, dan berketuhanan.

 

Ajaran Kaki Mangunwijaya menganjurkan persatuan antar sesama manusia tanpa membeda-bedakan, kesetaraan hak, menghormati orang lain, berbakti kepada Tuhan, serta srawung antar sesama manusia untuk menciptakan kerukunan dan hidup tentram damai dalam masyarakat.

 

(Mbah Mangunwiharjo, sesepuh desa Salamrejo dan PEBM, saat di rumah.)

 

“Pada waktu itu, belum ada Pancasila. Tapi Kaki Mangunwijaya sudah mencetuskan salah satu tujuan yang menjadi bagian dari Pancasila. Yaitu menghidupkan rasa ketuhanan, rasa kemanusiaan, dan semangat gotong royong. Sebagaimana sudah tertulis dalam Anggaran Dasar PEBM,” tutur mbah Mangun.

 

Intisari dari PEBM adalah melatih laku utama untuk membentuk manusia sejati di alam nyata. Termasuk menjaga diri, melestarikan budaya, merawat alam, menjaga kelestarian lingkungan, dan hidup bersama orang lain. Tanpa membeda-bedakan dan tidak membenci. Tanpa ada penjajahan jiwa dan tekanan.

 

“Bebas, tidak ditekan. Anak-anak saya saja, mau ikut silahkan. Tidak (ikut) juga nggak papa. Biar terbuka sendiri rasanya. Tidak ditekan-tekan. Jadi penghayat itu memerdekakan jiwa dan memayu hayuning bawana,” lanjut mbah Mangun.

 

(Pak Gati, Ketua PEBM Kulonprogo, saat menjelaskan PEBM.)

 

“Tuhan tidak pernah membeda-bedakan. Manusia lah yang membeda-bedakan karena adanya nafsu. Kalau di PEBM sesuai nama paguyuban, eklasing budi murko artinya mengikhlaskan perbuatan buruk. Tidak melakukan perbuatan dan hal buruk. Jika sempat berbuat buruk, kita meminta maaf kepada Tuhan dan sesama,” kata pak Gati menambahkan.

 

Desa Inklusi di Salamrejo

Ajaran dalam keyakinan mereka itulah yang menjadi dasar Salamrejo menjadi desa inklusi, sebuah desa yang tidak membeda-bedakan warganya dalam mendapatkan hak. Perjalanan menuju desa inklusi ini tidak instan. Mereka membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapainya.

 

(Pak Lasiyo, warga PEBM di Salamrejo, menjelaskan tentang desa inklusi Salamrejo.)

 

Lasiyo, salah satu warga PEBM di Salamrejo, bilang, terbentuknya desa inklusi ini bermula dari pertemuan para tokoh agama dan penghayatan kepercayaan. “Kita dikatakan sebagai embrio dari inklusinya desa Salamrejo. Embrio desa inklusi terjadi karena adanya pertemuan antar tokoh agama dan penghayat kepercayaan untuk membangun kehidupan harmonis, yang tidak terkotak-kotak seperti daerah lain,” terang Lasiyo.

 

Upaya dan proses tersebut bisa terjadi karena warga PEBM menyadari tentang tanggung jawab berperilaku baik dari diri sendiri serta berbuat baik kepada sesama manusia dan alam lingkungan. Istilah lainnya adalah orang hidup itu sebisa mungkin bisa menghidupi (Jawa: urip kuwi urup).

 

Lasiyo mengatakan keterlibatan warga PEBM dalam merintis desa inklusi sejak ada program penerbitan buku sejarah desa Salamrejo. Saat itu mereka, bersama Karang Taruna Desa Salamrejo serta didampingi oleh Yayasan LkIS dan Satunama, menyusun buku sejarah. Sejak saat itu, PEBM diakui, diterima, dan diundang sebagai organisasi.

 

Tidak selesai pada pertemuan tokoh agama dan penerbitan buku, PEBM juga meneruskan kebiasaan saling mengundang antar agama dan penghayat kepercayaan dalam kegiatan. Jika ada kegiatan bersama, warga yang berbeda pun bisa saling membaur dalam pergaulan. Terutama kegiatan kebudayaan, warga penghayat selalu dilibatkan.

 

“Penghayat adalah tokoh utama dalam bidang kebudayaan. Maka kegiatan budaya pasti melibatkan orang penghayat,” kata mbah Mangun.

 

(Dokumentasi Polsek Sentolo saat Upacara dan Kirab Hari Jadi Desa Salamrejo.)

 

“Dalam kirab desa untuk menyemarakkan hari jadi Salamrejo, kita sering diundang sebagai satu kelompok dengan nama PEBM. Terlibat juga dalam budaya pengambilan air dari 7 sumber mata air. Bahkan mbah Mangun yang memimpin juga,” kata Sasmito Gati, Ketua PEBM Kulonprogo menambahkan.

 

Kegiatan-kegiatan itu membuat masyarakat menjadi terbuka dan memahami satu sama lainnya. Itulah yang menjadi modal Desa inklusi yang tidak membeda-bedakan, melestarikan keadaan/alam, serta akses pemerintahan dan hak warga juga tidak dipersulit. Termasuk bagi rekan-rekan dan kelompok disabilitas. (Christian Apri Wijaya)