img

Niluh P. Sriani: Melepas Prasangka, Membangun Kerjasama



Niluh P. Sriani, S.Th., biasa dipanggil Niluh, Guru Pendidikan Agama Kristen Protestan di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Pamona Selatan, Sulawesi Tengah. Saat Interfidei mengundangnya untuk menjadi partisipan dalam kegiatan Pelatihan Mengelola Perbedaan bagi Para Guru SMA di Sulawesi Tengah pada 2015, Niluh sempat kuatir. Dalam pandangannya waktu itu, bagaimana mungkin para Guru Pendidikan Agama yang berbeda agama dapat tinggal dan berkegiatan bersama selama beberapa hari. Masa itu, Niluh masih menyimpan prasangka dan takut pada mereka yang berbeda agama, terlebih yang beragama Islam. Pengalaman buruk yang dialaminya di masa lalu di Poso membuat Niluh sangat berhati-hati. Niluh juga sempat meragukan Interfidei karena waktu itu ia baru pertama kali mendengar nama tersebut. Meski sempat ragu, namun kemudian Niluh memutuskan untuk ikut dalam pelatihan tersebut. Demi keamanan dirinya, Niluh meminta seorang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) di daerahnya untuk mendampinginya datang di hari pertama pelatihan. 


Selama pelatihan, ternyata curiga, prasangka, dan rasa takut Niluh terhadap para guru yang beragama Islam memudar. Pengalaman bertemu dan berkegiatan bersama: berdialog, bertanya-jawab, bercerita, saling belajar dan bertukar pengalaman, bermain dan tinggal bersama selama pelatihan yang difasilitasi oleh Interfidei membantu memudarkan prasangka dan ketakutannya.


Dalam pelatihan, Niluh memanfaatkannya untuk mengkonfirmasi prasangka dan pikiran-pikiran buruk tentang agama lain yang diyakininya selama ini. Menurut Niluh, semua peserta (Guru-Guru Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan) yang hadir kala itu ternyata saling mendukung dan berkomitmen untuk melakukan dialog. Bahkan sebagian dari mereka juga melanjutkan percakapan saat sudah berada dalam kamar tidur, yang didesain oleh panitia di mana satu kamar untuk berdua dan keduanya berbeda agama. Niluh sendiri satu kamar dengan seorang guru yang beragama Islam. Menurut Niluh, ketika di kamar tidur, mereka melanjutkan dialog tentang ajaran agama dan saling berbagi pengalaman serta mengkonfirmasi berbagai berita, seperti berita buruk, kecurigaan, tuduhan dan stigma terhadap yang berbeda agama yang mereka dengar ketika terjadi konflik di Poso di masa lalu.


Setelah mengikuti pelatihan, Niluh kemudian membangun komitmen untuk memulai dialog di sekolahnya. Ia memulai dari ruang kelasnya. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen yang awalnya belum membicarakan persoalan toleransi secara intens, kemudian ia maksimalkan. Pendidikan Agama Kristen yang ia ajarkan di kelas menjadi pintu masuk dalam menumbuhkembangkan sikap menghargai, menghormati, dan memahami perbedaan di kalangan murid. Pembicaraan tentang toleransi dan persaudaraan antar sesama yang berbeda latar belakang, khususnya berbeda agama, kini gencar ia lakukan. Komunikasi antar Guru Pendidikan Agama Kristen dan Pendidian Agama Islam di daerahnya mulai dirintis untuk menumbuhkan sikap saling percaya. Materi dan metode pelatihan yang ia peroleh baik saat pelatihan tingkat dasar, tingkat lanjut, pelatihan menjadi pelatih, serta pelatihan menyusun Rencana Pokok Pembelajaran (RPP) yang menjadi suplemen dalam menterjemahkan kurikulum nasional dan bahan ajar di kelas, ia pergunakan dalam mengelola dan memaknai perbedaan di lingkungan sekolah. Bagi Niluh, sekarang proses belajar-mengajar yang diselenggarakannya menjadi lebih bermakna karena ia telah menemukan alasan dan makna tentang pentingnya mengelola perbedaan. 


Menurut Niluh, semua materi pelatihan mengelola perbedaan yang pernah ia terima sangat berkesan karena ia mendapat banyak hal yang bisa dipelajari dan menjadi motivasi baginya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik, termasuk materi tentang bagaimana menjadi seorang pelatih. Melalui pelatihan ini, ia telah belajar bekerja sama dengan para guru yang berbeda latar belakang agama, saling memahami, serta menerima perbedaan satu sama lain. Usai pelatihan, Niluh sempat membagikan ilmu dan keterampilan yang didapat kepada guru-guru lain di sekolahnya, terutama dalam mengelola perbedaan, sebagai sesuatu yang sangat berharga untuk mencapai kesejahteraan bersama. Saat ini, di sekolahnya, Guru Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Agama Kristen dapat bekerja sama dalam mengajar agama. Saat Guru Pendidikan Agama Islam berhalangan mengajar karena sakit atau sedang bertugas di tempat lain, maka Guru Pendidikan Agama Kristen bertugas membimbing siswanya untuk belajar sesuai dengan petunjuk Guru Agama Islam tadi. Begitu pula sebaliknya saat Guru Pendidikan Agama Kristen berhalangan. Meski begitu, ternyata masih ada guru lain yang tetap melihat perbedaan agama sebagai penghambat dalam menjalin relasi di antara mereka. Ini tantangan bagi Niluh untuk menjadikan sekolahnya lebih terbuka serta usahanya dalam menumbuhkembangkan toleransi yang kritis dan konstruktif di lingkungan sekolah.


Secara jumlah, mayoritas peserta didik di sekolahnya beragama Kristen Protestan. Selain itu, ada yang beragama Islam dan Hindu. Namun dalam soal mengahargai perbedaan, Niluh bersama Guru Pendidikan Agama Islam di sekolahnya mendorong para murid untuk berteman dan bermain bersama tanpa membedakan latar belakang agama, serta saling menolong, menghargai dan menghormati, juga saling memberikan salam dan bersilahturahmi ke teman dan guru yang sedang menjalankan atau merayakan hari raya keagamaannya. Jika ada yang sakit atau mengalami kesulitan, mereka menginisiasi gerakan donasi berupa uang atau barang bagi yang membutuhkan. 


Kepada para Guru Pendidikan Agama Kristen Protestan di Indonesia, khususnya di Sulawesi Tengah, sebagai seorang pendidik, Niluh berpesan agar para Guru dapat menjadi teladan dan berkomitmen untuk menjadikan Indonesia lebih baik: saling menghargai dan menghormati, juga bekerja sama, dengan semua orang yang berbeda. Menurut Niluh, “Perbedaan tidak seharusnya menjadi ancaman. Perbedaan dapat dan perlu dikelola agar menjadi kekuatan bersama. Pendidikan Agama harus menjadi sarana untuk menciptakan saling percaya serta menebar dan menumbuhkembangkan perdamaian. Hanya dengan bersahabat dan menciptakan rasa kekeluargaan yang akrab di antara yang berbeda, maka kita dapat melepas prasangka dan bekerja sama. Agama harus jadi berkat bagi bangsa dan seluruh ciptaanNya”. 


Ditulis oleh: Cornelius Selan
Editor: Otto Adi Yulianto