img

Peneliti AS: Indonesia & India Alami Radikalisasi Demokrasi

Sleman, Gatra.com - Indonesia, seperti sejumlah negara demokratis lain seperti Amerika Serikat dan India, mengalami radikalisasi demokrasi. Hal ini terjadi ketika demokrasi tak menjamin keadilan sosial warga, dipertarungkan menurut agama dan identitas lain, atau dibajak oleh tokoh populis.

Hal ini diungkapkan peneliti Boston University, Amerika Serikat, Robert W. Hefner di diskusi “Agama, Negara, dan Warga” gelaran Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau CRCS Universitas Gadjah Mada di kampus UGM, Rabu (12/3). Diskusi ini menandai peluncuran jurnal Prisma dan film dokumenter ‘Beta Mau Jumpa’.

“Radikalisasi demokrasi ini tidak mengaspirasikan kesetaraan warga negara dan keadilan sosial tapi ada pembelaan masyarakat menurut agama dan ras,” ujar Bob, sapaan Robert.

Radikalisasi demokrasi juga tidak menjamin tumbuhnya masyarakat sipil yang adil. Di sejumlah negara, demokrasi bahkan dibajak oleh tokoh populisnya termasuk seperti Donald Trump di AS.

Untuk Indonesia setelah era Reformasi, Bob tidak menampik bahwa demokratisasi tak sanggup melengserkan oligarki bahkan ia bertahan dan makin kuat, sementara pertumbuhan ekonomi juga tak lantas menghapus ketimpangan.

Namun bukan hanya itu, Bob melihat radikalisasi demokrasi di Indonesia terjadi secara riil. “Ada pertarungan kelompok di masyarakat, bukan di negara,” ujar Indonesianis, pengamat dan peneliti soal-soal keindonesiaan, ini.

Menurutnya, fenomena ini terjadi di berbagai negara demokratis. AS memunculkan supremasi kulit putih, belakangan terjadi konflik berbasis agama di India dengan ekstrim Hindu dan Indonesia dengan ormas seperti FPI. Bob menyebut kecenderungan serupa juga terjadi di Myanmar, Thailand, dan Perancis.

“Kewargaan terdeferensiasi ke ras, agama, dan gender. Demokrasi tidak menjamin keadilan sosial tapi membuka ruang konstestasi, pertarungan yang jauh lebih luas dan intensif. Itu yang saya amati di Indonesia dan tidak beda dengan banyak negara demokratis lain, termasuk AS di bawah Trump,” tuturnya.

Untuk itu, Bob mendorong perlunya suatu konsensus baru dalam hal etika publik. “Demokrasi tidak menjamin kesetaraan kalau tidak ada upaya terus menerus mewujudkan konsensus baru etika publik yang didukung variabel struktur ekonomi politik,” kata dia.

Peneliti CRCS UGM Samsul Maarif menyatakan wujud radikalisasi demokrasi juga terjadi ketika politik agama digunakan sekelompok pihak untuk menyusup ke negara, sehingga negara terobsesi untuk mengatur agama.

Hal ini terlihat ketika Kementerian Agama berbeda pandangan dengan Kemnenterian Pendidikan dan Kebudayaan di isu penghayat kepercayaan. “Demokrasi radikal ini mengerikan bagi masyarakat adat dan penghayat kepercayaan. Demokrasi mestinya mendorong kadilan sosial tapi tak semua konsen di situ, melainkan supremasi agamanya,” ujarnya.

Dosen Departemen Hubungan Internasional UGM Luqman Nul Hakim menguraikan kecenderungan menguatnya Islam sebagai wacana politik bagi pertarungan kekuasaan dalam praktik demokrasi di Indonesia. Menurutnya, penguatan Islam merupakan gejala dari dislokasi demokrasi yang mengalami depolitisasi dan fragmentasi Islam politik.

“Makin terfragmentasinya Islam politik bukan hanya membuatnya cenderung lebih pragmatis, tetapi juga memicu berkembangnya kendaraan-kendaran politik Islam yang mendaku mewakili kepentingan-kepentingan umat, termasuk kelompok yang menggunakan cara-cara kekerasan,” kata dia.

Kondisi ini menunjukkan kegagalan Islam politik membangun kekuatan hegemonik pasca-Orde Baru. “Polarisasi yang diakibatkan fragmentasi Islam politik itu menjadi makin parah ketika bertemu dengan kondisi demokrasi yang juga mengalami krisis representasi—para elite dan partai yang berkompetisi seperti tak punya cara selain menggunakan jalan pintas dengan memobilisasi identitas kelompok,” paparnya.

 


Editor: A. Hernawan